Ulil Abshar Abdalla adalah tokoh muda Nahdatul Ulama. Bisa dibilang, ia memiliki darah biru NU. Istrinya adalah anak KH A. Mustofa Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Thalibien, Rembang, Jawa Tengah. Ia memiliki pendidikan NU yang lengkap lalu dilanjutkan ke Amerik Amerika Serikat. Ia memilik pandangan yang liberal mengenai Islam. Bersama kelompoknya, ia pun mendirikan organisasi Jaringan Islam Liberal.
Dalam suatu wawancara dengan majalan Tempo, ia mengatakan. "Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah ’organisme’ yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai ’patung’ indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.” Kutipan wawancara itu merupakan bagian dari tulisannya di Kompas, 18 Desember 2002 berjudul 'Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam'. Pandangannya yang liberal itulah yang membuat dia mendapat fatwa halal dibunuh.
Seperti diberitakan, sebuah bom meledak di kantor Jaringan Islam Liberal di Utan Kayu, Jakarta Timur, Selasa (15/3/2011). Bom tersebut berupa paket kiriman kepada aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. Ulil mengaku tak mengenal pengirim paket bom tersebut yang bernama Sulaiman Azhar. Dalam sepluh tahun terakhir, ini adalah teror bom pertama yang dialami Ulil.
Menyikapi hal ini, Kepolisian RI (Polri) mengirimkan telegram untuk seluruh jajaran kepolisian mengenai prosedur penanganan paket yang dicurigai sebagai bom. Polri berkaca kepada peristiwa meledaknya paket buku yang berisi bom di Utan Kayu, Jakarta. Kejadian yang menimpa Kasatreskrim Polres Jakarta Timur Kompol Dodi Rahmawan tidak boleh terulang.
"Sudah disampaikan melalui telegram bagi seluruh kepolisian supaya menaati prosedur yang berlaku," ucap Kabareskrim Polri Komjen Pol Ito Sumardi di Mabes Polri, Ito mengatakan Kompol Dodi Rahmawan tidak sabar menunggu tim Jihandak datang. Sehingga berinisiatif untuk menangani paket buku yang berisi bom.
"Masalah bahan peledak ditangani oleh Jihandak. Namun demikian kan itu sudah terjadi, itu jadi introspeksi kita," katanya. Seperti diberitakan, sebuah bom meledak di kantor radio KBR68H yang lokasinya berdekatan dengan Komunitas Utan Kayu dan Jaringan Islam Liberal (JIL), Selasa (15/3/2011) petang.
Bom tersebut berbentuk paket buku yang ditujukan kepada aktivis JIL Ulil Abshar Abdalla. Bom meledak setelah sempat dijinakkan Kasat Reskrim Polres Jaktim Kompol Dodi Rahmawan dengan cara menyiramkan air. Akibat ledakan tersebut, menyebabkan lengan kanan Kompol Dodi mengalami luka parah hingga terputus dan menghancurkan wajah koordinator keamanan Komunitas Utan Kayu, Mulyana.
Bom di Utan Kayu Kental Politik
Kental akan politik adalah dugaan yang dikemukakan Tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla terkait ledakan bom di kantor Komunitas Utan Kayu di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur. "Sejauh ini saya tidak pernah mendapatkan ancaman apapun. Baru ketika saya masuk parpol dan menyampaikan gagasan yang agak menyinggung kalangan lain, tiba-tiba muncul ancaman," tutur Ketua DPP Partai Demokrat di Jakarta, Selasa (15/3) malam. Paket buku berisi bom ditujukan kepada Ulil.
Menurut Ulil, ada pihak lain yang merasa terancam terkait masuknya Ulil dalam partai politik, terutama soal kebebasan beragama. Karena dulu, lanjut Ulil, ketika masih bergerak murni dalam konteks masyarakat sipil pengaruh dia dianggap tak terlalu kuat. Seiring jalannya waktu, waktu masuk parpol pengaruhnya lain. "Tapi juga mungkin ada juga kaitan di luar masalah kebebasan beragama ini spekulasi. Tapi konteks politik sangat kental dalam hal ini," tutur Ulil menegaskan.
Pengamat Intelijen
Pengamat intelijen Soeripto menduga bom buku yang ditujukan kepada mantan Koordinarot Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla yang berkantor di Utan Kayu, Jakarta Timur, merupakan pekerjaan intelijen. Untuk situasi Indonesia saat ini, yang paling mungkin melakukan kekerasan dengan menggunakan bom adalah intelijen profesional.
"Yang bisa melakukan itu adalah orang yang profesinya sebagai intelijen. Bisa saja agen intel yang melakukan pekerjaan itu. Orang biasa sulit," ujarnya saat dihubungi Media Indonesia, Soeripto tidak yakin bom tersebut diprakarsai oleh teroris. Karena teroris di Indonesia hampir tidak lagi berjalan pasca-Abubakar Ba'asyir ditangkap.
Namun, yang perlu diperhatikan, kata Soeripto, intelijen tersebut bekerja untuk siapa atau siapa yang mengkoordinasi kegiatan mereka. Ia belum bisa menyebutkan siapa di balik pengeboman tersebut namun dia menilai tindakan tersebut merupakan perbuatan liar yang sulit terkontrol. "Intel kita saat ini sangat liar. Mereka tidak terkontrol, bekerja sesukanya,"ujarnya.
Soeripto menambahkan, hingga sekarang paradigma kerja intelijen Indonesia masih paradigma Orde Baru (Orba). Kekerasan selalu menjadi acuan untuk meredam kebebasan pihak lain atau ingin mengontrol pihak tertentu. "Intelijen kita masih gunakan paradigma Orba. Intel masih bekerja represif. Padahal, intelijen kerjanya mengumpulkan data demi kepentingan negara," ujarnya.
Sementara itu, pengamat militer dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menjelaskan, di negara seperti Asia Selatan dan Asia Tenggara, bom sering dipergunakan sebagai alat represif. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya menyampaikan kehendak atau aspirasi dengan cara yang biadab.
Di Indonesia, hal tersebut terjadi, kata Indria, karena hukum tidak lagi menjadi panglima. Hukum sering dibeli oleh kekuatan uang. "Banyak orang yang mengambil jalan pintas. Lebih baik bom daripada pakai langkah hukum,"terangnya.
No comments:
Post a Comment